Hidup sebagai wong cilik dari dulu sampai saat ini memang serba kejepit. Kalau angin kejepit bisa njerit, tapi umtuk njerit pun kami tak berdaya. Derita tiada akhir. Malam digigit nyamuk, siang digigit utang. Pagi dikejar tukang kredit, sore dikejar peut sendiri yang lapar. Itulah bencana sesungguhnya yang menimpa kaum semut ireng ini tak henti-hentinya, lebih dari 5,9 Skala Richter.
Para petani gurem, pedagang asongan, bakul gendhong simbok randha, buruh upahan, tukang judi, tukang mabok, wong edan, wong setres dan termasuk juga "orang-orang yang terlalu jujur" adalah profil yang menggendong kemiskinan ini turun-menurun. Seolah-olah kemelaratan sudah menjadi penjajah yang susah diusir dari belantara nasib kami. Bantuan silih-ungkih berganti tidak pernah mengentaskan kami, karena keberadaan kami memang dibutuhkan oleh jiwa-jiwa yang feodal.
Biarlah wong cilik kali ini menjelma menjadi sosok Tuminem. Biarlah ia mewakili kami kaum pinggir kali, pinggir tempat sampah kota, petani gunung yang mlarat dan hampir-hampir sekarat. Lalu apa yang bisa diperbuat kecuali menertawakan nasib diri sendiri. Lha gimana? Itulah satu-satunya hiburan yang gratis.
Memang di jaman ini tak ada lelucon yang lucunya melebihi diorama digedung-gedung peradilan, gedung gedung parlemen dan lembaga-lembaga yang mengatasnamakan rakyat tapi menjual rakyat. Akan tetapi kami memberanikan diri mengajak sesama wong cilik bersama-sama ngguyu biar beban sedikit terlupakan. Terbitnya buku ini sekaligus momentum bagi kami untuk ndherek merefleksikan 61 tahun kemerdekaan negeri ini.